Minggu, 15 November 2015

KEMBALIKAN HAK KEAMANAN MASYARAKAT CIREBON DARI MARAKNYA KEJAHATAN BEGAL, MALING, DAN KEBRUTALAN GENG MOTOR

      Cirebon merupakan kota wali yang di emban sekitar 500 tahunan, sebutan itulah yang melekat karena masyarakatnya yang agamis dan aman daerahnya, sehingga tak heran orang luar daerah banyak yang berdatangan ke Cirebon baik untuk bersinggah maupun menetap karena kenyamanannya. Sehingga pemerintah saat ini sedang sibuk-sibuknya gencar mengkampanyekan Cirebon sebagai kota Tujuan dan Wisata Kuliner, namun pemerintah terlalu terlena dengan giatnya dalam pembangunan dan memperindah kota, kendati mereka lupa dengan mewujudkan keamanannya. Demikian terbukti dengan maraknya begal, maling, dan tindakan brutal geng motor yang kian marak di kota Cirebon, hal itu menjadikan Cirebon rawan terhadap keamanan dan ketertibannya.

      "Disaat Pemerintah sedang menggiati Cirebon menjadi Kota Tujuan dan Wisata Kuliner justru bisa jadi “Gagal” jikalau tidak bisa menciptakan rasa aman dan nyaman seperti hal nya di bali yang nyaris tidak ada kejahatan pencurian apalagi begal." Paparan dari Bapak Agus Prayoga Advokat Posbakumadin kota cirebon

      Merujuk pada pasal 13 Undang – undang Nomor 2 tahun 2002 mengenai tugas Pokok Kepolisian Republik Indonesia, yaitu : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Mengakan Hukum Memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini masyarakat Cirebon, sudah sepatutnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Cirebon dari tindakan begal, maling, dan tindakan brutal geng motor, tentunya dengan didukung dan dikawal penuh oleh pemerintah.

      Hal ini didasarkan atas kejadian yang menimpa saya sendiri yang merupakan korban begal yang terjadi pada haris selasa 6 oktober 2015 (beritanya ada di CT) , begitu juga dialami teman-teman kami, dan tentunya banyak masyarakat juga yang menjadi korban, dengan demikian membuat kami dan masyarakat Cirebon resah dan khawatir. Ini bukti bahwa kepolisian Cirebon lengah dalam konsentrasi mengemban tugasnya mewujudkan keamanan dan ketertiban yang merupakan hak kami sebagai masyarakat.

      “Tindak kejahatan begal dan penjambretan biasanya dilakukan di tempat yang sepi dari aktifitas warga dan minim Penerangan Jalan Umum (PJU) , ini menjadi PR pemerintah dinas agar meningkatkan pemasangan PJU di jalan yang sepi dan gelap”

  “Hal serupa juga perlunya partisipasi DPRD Kota Cirebon dalam hal ini Komisi A, agar mendesak pemerintah dan kepolisian agar bertindak sebagaimana mestinya serta memfasilitasi masyarakat sesuai fungsinya mewujudkan ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat”

Kami dan masyarakat Cirebon memohon agar kepolisian lebih tanggap dan melakukan tindakan antisipasi terhadap tindakan kejahatan di wilayah Cirebon minimalnya dengan melakukan sosialisasi mengajak masyarakat untuk keamanan bersama dan stanby di titik-titik rawan kejahatan, kemudian mengusut dan atau menangkap secepatnya para pelaku tindak kejahatan begal, maling, dan kebrutalan geng motor yang berbuat tindakan pidana.

“hal ini juga dapat diwujudkan dengan turut serta partisipasi masyarakat dalam rangka keamanan bersama, asalkan pemerintah dan kepolisian benar-benar serius dan menjamin dalam menyikapi ini, jangan sampai masyarakat memakai caranya sendiri dengan hukum rimba (main hakim sendiri)”

Rabu, 14 Oktober 2015

Budaya Menulis



“Budaya” Tulis, Sudahkah Jadi “Budaya” Kita? 
Oleh : Khumaidullah Irfan



 “Yang tertulis akan tetap mengabadi dan yang terucap akan berlalu seperti angin...”

            Lima bulan yang lalu, di sebuah acara di Indramayu, saya bertemu dan mulai berbincang dengan seorang yang pernah ikut menjadi aktivis 98. Di usianya yang belum bisa dikatakan tua dan tak pantas lagi disebut muda itu, ia masih saja berteriak lawan. Bahkan ia tak lelah untuk terus-menerus memprovokasi mereka, para generasi muda seperti saya, untuk selalu menempuh garis perjuangan. Mempunyai rasa keberpihakan terhadap massa rakyat yang tertindas. Karena sangat jelas bahwa revolusi merupakan alternatif pilihan yang tepat. Dengan kekuatan massa yang kuat, terdidik, terpimpin, dan terorganisir. ia menceritakan bagaimana keadaan dizaman soeharto di orde baru. serta bagaimana keadaan saat reformasi mahasiswa pada tahun 98 saat itu. lama kami berbincang-bincang dengannya.

        Diseling obrolan ia bertanya kepada saya, “Kamu suka menulis tidak? Atau kapan nih kamu atau sahabat-sahabat kamu buat buku? Atau setidaknya kalau ada yang punya tulisan, kumpulkan, dan coba kirim ke penerbit atau tuangkan ke blog. Masak gak ada yang suka menulis?” sontak saya merasa tertampar dengan pertanyaan tersebut. Dalam benak saya berkata, “Niat seh ada. Tapi, lha ya sebatas niat, belum bisa terealisasi. Jangankan menulis untuk sebuah buku, menulis sebuah artikel untuk buletin internal saja hanya segelintir sahabat yang rutin melakukannya.” saya hanya bisa tersenyum, dan mengalihkan pembicaraan sampai pada akhir perbincangan kami.

         Disadari atau tidak, menulis memang bukan perkara yang sepele. Itu bukan suatu hal yang mudah bukan pula suatu hal yang sulit. Sebegitu pentingkah budaya tulis ini kita budayakan di dalam organisasi kita? Seberapa banyak pula di antara kita yang sudah memulai dan membiasakan budaya tulis ini? Ataukah jangan-jangan kita masih melanggengkan budaya lisan dari jaman feodal? Kalau pun itu yang terjadi, maka kelak yang ada hanyalah pendongeng dan pendengar cerita.

          Saat saya jalan-jalan
membaca-baca artikel melalui internet ke mbah google. Kalau kita menilik sebentar ke jaman kolonial, munculnya organisasi pergerakan nasional berangkat dari sebuah perjuangan melalui media massa. Adalah RM Tirto Adi Soerjo inilah sosok “Sang Pemula dan Pembaharu” dalam pergerakan di Indonesia yang berani menelanjangi kebijakan pemerintahan Belanda yang begitu menyengsarakan rakyat melalui media terbitannya: Medan Prijaji. Pada waktu itu organisasi belum menjadi alat perjuangan karena kesadaran massa rakyat akan perlunya sebuah organisasi sangat minim sekali. Hal ikhwal yang bisa dilakukan dalam melakukan perubahan adalah melalui tulisan. Media massa menjadi alat untuk menumbuhkan kesadaran massa.

         Seandainya para pemikir revolusioner dunia yang mempunyai harapan akan perubahan manusia dari sebuah ketertindasan tak pernah menuliskan hasil pemikirannya, niscaya penghisapan manusia atas manusia akan terus bercokol. Darimana kita akan tahu ide-ide revolusioner Marx atau pemikiran gemilang Tan Malaka jika kita tidak pernah membaca karya besar mereka tentang perubahan. Mereka tahu bahwa warisan wacana yang progresif revolusioner tidak hanya bisa dilakukan dengan berorasi dan berkata-kata. Satu hal yang bisa melanggengkan wacana atau ide-ide atas perubahan itu tadi; yaitu dengan menuliskannya. Ialah yang akan terus-menerus berteriak lantang dan menggugah kesadaran individu yang membacanya.

       Dalam sebuah diskusi di warung kopi bersama seorang kawan, saya pernah menanyakan, “Kenapa ya kawan-kawan atau kitalah – minimal – jarang sekali menulis sebuah artikel yang kemudian dikirim ke media sebagai counter culture wacana media yang didominasi wacana-wacana elitis? Padahal kita sering berdiskusi, kita selalu melakukan sitnas, kita juga pernah mengadakan pelatihan jurnalistik, tetapi kenapa masih saja kita belum mampu?” Kemudian dia menjawab, “Sebenarnya hal ini sudah dilakukan oleh kawan-kawan, walaupun tidak semuanya, karena semua kembali ke individu masing-masing anggota.” Pernah juga pertanyaan serupa saya tanyakan pada seorang sahabat yang cukup peduli dengan wacana-wacana budaya dan sastra, dia menjawab, “Memang beginilah adanya. Budaya ini masih lemah sekali ditingkatan kita. Adanya kendala yang beragam atau mungkin terlalu sibuk dengan kerja-kerja organisasi. Sepertinya memang harus kita rintis”

            Dari pertanyaan yang saya lontarkan tadi, tidak ada satu pun jawaban yang cukup melegakan. Sampai saat ini pertanyaan saya tadi masih terus bergeming di dalam otak. Saya cukup merasa resah. Benarkah budaya tulis ini sebegitu parahnya sehingga belum mampu membudaya di tingkatan kita? Bagaimana kita bisa lentur melakukan proses agitasi dan propaganda melalui media tulis jika diksi dan pemakaian gaya bahasa sebagai rangsangan simpati massa jarang kita latih? Tentu saja hal ini berdampak pada kemiskinan perbendaharaan kata, kekeringan makna, tidak adanya persuasif dan sugesti dalam propaganda tulisan yang kita buat.

           Di tengah kehebatan kapitalisme hari ini yang mampu menciptakan kontrol baru dengan teknologi informasi yang diciptakannya, sebenarnya menjadi peluang bagi kita untuk membuat media-media baru sebagai alternativ untuk menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner. Di internet semisal, menjamurnya blog-blog/situs pribadi bisa dijadikan media untuk mengasah kemampuan menulis kita. Media inilah yang harus kita jadikan budaya baru dalam proses transformasi nilai.

            “Memang seharusnya seperti itu, bro,” celetuk seorang kawan anggota ketika saya kopi darat bersama sahabat saya, "Tapi sayangnya, banyak yang lebih suka “nampang” ria dengan pose-pose genit dan sok dramatis di FB / BBM daripada nge-blog. Parahnya lagi gan...boro-boro untuk chat, email, buat FB atau blog, nge-Net aja banyak yang gaptek, kok. Gimana mau melawan kapitalisme, hah?!" lontaran ketus itu membuat saya tertawa kecut. Saya tak mampu berkomentar. Saya cuma bisa membalas, “Ha..ha..ha...”

          Secangkir kopi kental pahit dan sebungkus rokok surya telah habis mengantar saya menyelesaikan tulisan ini. Saya tafakur sembari mencoba merefleksikan kembali dinamika yang saya alami selama 3 tahun di organisasi bersama sahabat-sahabat. Apa saja yang telah saya peroleh dan saya berikan untuk organisasi? Catatan-catatan apa yang pernah saya torehkan di organisasi? Di akhir tafakur, saya tersadar dan mengambil kesimpulan kecil, bahwa memang budaya tulis ini harus kita rintis. Bagaimana kita akan mampu bertutur tentang sejarah organisasi kita kepada benih-benih baru jika kita tidak menuliskannya? Karena kelak suatu waktu mulut kita pasti bungkam dan tak bisa berkata-kata lagi. Jangan sampai kita hanya menjadi seorang pendongeng dan pendengar cerita saja. Bilamana itu terjadi, bagaimana harapan dan impian di hari depan bisa kita raih?

         * Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita semua akan pentingnya menulis.

Menjadi Mahasiswa



Menjadi Mahasiswa; Pragmatis atau Idealis ?
Oleh : Khumaidullah Irfan (Ipank)


“Mahasiswa adalah Agen Of Change”
               Pragmatis dan Idealis, dua hal yang sangat sensitif sekali kita bicarakan, Sebuah gejolak rasa yang pasti setiap mahasiswa mengalaminya, tak lepas dari siapakah mahasiswa itu dan darimanakah mahasiswa itu, entah dia seorang anak petani maupun anak seorang priyai, Ketika mendengar kata itu apa yang ada di benak sahabat-sahabat? mungkin jawabannya adalah “I had to select which and how??” so pasti disadari atau tidak kita akan dihantui oleh kegalauan, seperti Chairil Anwar dalam puisinya; hidup adalah pilihan “Life is Choise” begitulah katanya, lalu kita sebagai mahasiswa harus bagaimana? Menjadi mahasiswa yang Pragmatis kah? atau Idealis ? apakah mungkin dua-duanya saja? Sebentar gan, sebelum kita bahas, alangkah baiknya mungkin kita fahami dulu, Whats is This “Pragmatis” ? And What is This “Idealis” ?, buat sahabat-sahabat yang sudah faham sabar dulu, buat yang belum faham yuk mari kita kupas dan bahas bersama.
               Membicarakan Idealisme dan Pragmatisme mahasiswa, rasanya kurang “sahih" bila kita tidak membahas esensi dari idealisme maupun pragmatisme itu sendiri. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI),2008. telah gamblang disebutkan bahwa Idealisme adalah sebuah bentuk penjelmaan norma-norma dasar yang bersifat luhur, dalam prinsip-prinsip dasar yang di pegang seorang manusia. Dari sini, jelaslah bahwa idealisme tidak terikat dengan oleh variabel waktu akan tetapi didapatkan secara continue lewat interaksi kita dengan lingkungan bedasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkannya. Prinsip-prinsip tersebut akan digunakan sebagai alat “benchmarking” terhadap apa yang dihadapinya sehari-hari, sehingga ia tidak mudah dipengaruhi untuk mengikuti arus.
               Sedangkan Pragmatisme adalah sebuah bentuk krakter yang cenderung mengutamakan segi praktis dan instan, baik dan buruknya sesuatu ditentukan dengan kebermanfaatannya, baik bila menghasilkan keuntungan yang besar dan buruk bila merugikan. Seorang yang Pragmatis cenderung bersifat “profit hunter” dan mengabaikan proses untuk mendapatkan profit tersebut. Bahkan dalam prosesnya terkadang menabrak norma-norma yang telah ada.
               Begitulah kira nya tentang pengertian Pragmatis dan Idealis menurut saya sahabat. Lalu kita sebagai mahasiswa harus jadi Pragmatis atau idealis?,
Pernahkah anda mendengar istilah kata “Trade-off”, simplenya gini, kadang kita sebagai manusia ada kalanya dihadapkan pada situasi dimana apabila kita memilih suatu hal, kita harus kehilangan kesempatan untuk memilih hal lain. Apabila kita menginginkan A, kita harus mengorbankan B. begitulah gambaran sebuah pilihan atau kita sebut trade-off, kita harus memilih.
               Lantas bagaimana situasi itu diterapkan ke dalam konteks idealisme dan pragatisme mahasiswa masa kini? Apakah kedua hal tersebut juga merupakan sebuah trade-off ? dimana mahasiswa yang idealis tak bisa menjadi pragmatis, dan sebaliknya?
               Beberapa orang emang mengkontradiksikan sikap idealis dengan sikap pragmatis. Mereka berpendapat bahwa pesatnya kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi membuat mahasiswa jaman sekarang cenderung lebih pragmatis, sehingga keberadaan mahasiswa idealis bagaikan spesies yang langka lho. Mereka cenderung lebih menginginkan sesuatu dengan cara yang instan dengan mengedepankan hasrat untuk hidup cari aman, mentargetkan lulus kuliah cepat tanpa memikirkan temannya yang bermasalah dalam kuliahnya, berusaha belajar sendiri berharap agar mendapat IPK tinggi, menjadi budak dosen agar diberi nilai yang bagus, dan mengantongi berbagai sertifikat dari berbagai momen-momen yang bilangnya sih supaya dapat wawasan dan pengalaman tapi ujung-ujungnya buat koleksi dan pamer ke teman-teman. Setelah lulus nanti berharap dengan masa depan yang cerah bekerja di sebuah perusahaan yang ber-lebel “Elite” agar bergengsi dan dapet gaji tinggi, ditambah lagi apabila ada sebuah tawaran-tawaran bisnis “Kucing-kucingan” yang mengiming-imingi sebuah prospek yang cerah agar bisa kaya diusia muda yang ujung-ujungnya sih bisnisnya jualan sendal, pakaian, dan obat-obatan, biar agak keren dikemas dengan bahasa sok ke-inggris-an “Online Shop” atau ada istilah buat para membernya ada “Downline” dan “Upline” mereka pasang produk nya dengan gambar dan model-model yang keren agar terlihat menarik, setelah dilihat barang aslinya tak jauh beda dengan produk yang ada di Pasar Tegalgubug*. Bagaimana mereka peka dengan isu-isu dan permasalahan sosial sedangkan mereka sibuk dengan urusan individualisnya masing-masing.
               Saya teringat dengan pernyataan seorang(dirahasiakan) sebut saja Mr. Bacot al-cocot : “Mahasiswa kerjanya demo, kritik, menyalahkan pemerintah, selebihnya Nol !. buat apa demo di jalanan siang terik hingga kulit terbakar, berkoar-koar sampai suara serak. Buat apa kalian masih setia memikirkan perut rakyat, kalian dapat apa? Buat makan sendiri aja susah, sok memikirkan dan mengurusi permasalahan bangsa, semua kan sudah diurus oleh Negara. Sebagai Mahasiswa, kuliah saja yang bener biar cepat lulus, lalu bekerja di perusahaan dengan gaji yang tinggi terus hidup sejahtera.. ”.
               Mengingat pernyataan tersebut jadi ingat ketika saya menjadi mahasiswa baru, saya diam-diam mengawasi situasi dan kondisi di kampus saya sebut saja “Kampus Agama”, hasilnya yang saya temui saat awal pendaftaran mahasiswa sudah digiring untuk menjadi pragmatis, ketika pendaftaran ada pembayaran dengan embel-embel “Infaq” dimana disitu ada sebuah pilihan nominal uang yang harus di infaq an, bila kita bayar yang lebih besar nominalnya maka besar harapannya untuk bisa di terima (katanya). Begitupun ketika dikumpulkan dilapangan depan rektorat saat taaruf, tak jarang pejabat-pejabat kampus menggembor-gemborkan mahasiswa agar berprestasi secara akademik, dengan belajar sesuai kurikulum kampus agar mendapat nilai IPK tinggi, sehingga kelak lulus kamu bisa bekerja dengan baik,  mencapai karir yang tinggi. tak jarang pula mereka pun menghina yang berdemo, mengatai yang suka demo nilainya jelek, mengecewakan orang tua, tak ada prestasi yang dibanggakan selain demo, tidak berguna dan pandangan negatif lainnya.
               Apabila benar demikian adanya, hal itu sangat disayangkan, karena mahasiswa   pada hakikatnya mengemban predikat besar sebagai “Agen of change”, yang katanya ditangan kita tergenggam arah bangsa. Sahabat ingat kan tragedi 17 tahun yang lalu itu? Stabilitas dan kondusifitas negara berada ditangan mahasiswa. Namun mahasiswa zaman sekarang sudah acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dan lebih mengedepankan egoisme mereka. Mereka sudah terlena dengan pengalihan maindsetnya oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Menjadikan mahasiswa yang konsumtif bukan produktif. sehingga kepekaan terhadap isu-isu dan masalah sosial menjadi terpinggirkan. Lain hal nya dengan mahasiswa Idealis.
               Kembali ke permasalahan. Pragmatis atau Idealis sebenarnya hanya masalah klise. Lantas apakah menjadi pragmatis itu buruk? Apakah menjadi idealis lebih baik?. Oke. Saya tarik benang merah dari awal paragraf, Menurut sahabat-sahabat, Apa sih yang muncul dibenak sahabat jika mendengar orang yang idealis? Apakah terlintas dipikiran kita bahwa orang yang idealis adalah orang yang selalu berpegang teguh dengan apa yang sudah menjadi prinsipnya? Apakah seorang idealis adalah orang yang tidak bisa diajak kompromi bahkan selalu ingin menang jika sedang dalam forum diskusi?
               Lalu bagaimana dengan seorang yang pragmatis? Apakah kita berfikir bahwa seorang pragmatis adalah seorang yang cenderung tidak memikirkan proses namun hasil akhir? Contoh, Pernakah anda melihat mahasiswa curang dalam ujian? Apa yang ada di dalam pikiran mahasiswa tersebut ketika melakukan kecurangan pada saat ujian? Tentunya dia ingin mendapat kan nilai “A” atau “Besar” seperti temannya yang sudah belajar bersungguh-sungguh, namun tanpa usaha seperti temannya yang sudah belajar tersebut. Atau dia membuka hanphone nya lalu searching di google.
               Beberapa pertanyaan diatas adalah benang merahnya. Alhasil Mahasiswa yang menganut paham idealisme dan pragmatisme mempunyai kesan yang negatif. Jika mahasiswa idealis adalah orang yang kaku, sedangkan kalau mahasiswa pragmatis cenderung tidak mempunyai prinsip dan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.
                Lalu apa yang harus dilakukan kita sebagai mahasiswa di zaman modern disaat semua fasilitas tersedia? Pragmatis atau idealis?
               Menjadi mahasiswa idealis ataupun pragmatis adalah dua hal yang harus kita pilih. Mengapa harus keduanya? Mengapa tidak salah satu saja? Jawabannya sederhana sahabat, segala sesuatu di dunia ini selalu ada sisi positif dan negatifnya. So, yang harus kita lakukan adalah menjadi Mahasiswa yang Idealis dan Pragmatis.
               Bersikap “Pragmatis” terhadap hal-hal yang bisa mengganggu perkuliahan dan kegiatan kita sehari-hari dengan mampu melihat sebab akibat terhadap apa yang akan kita lakukan. Jika menimbulkan akibat yang baik untuk kita dan sahabat-sahabat, maka lakukanlah. Namun kita juga harus menjadi “Idealis” ketika hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang buruk untuk semuanya dan katakan tidak. Jadilah mahasiswa yang fleksibel terhadap perubahan di sekitar lingkungan kita termasuk di era globalisasi ini dengan segala kemudahannya, namun memang mungkin menjadi kaku ketika ada hal yang bertentangan dengan prinsip kita. Jangan mengedepankan ego dengan segala ide-ide kita, tetapi tetap fleksibel terhadap perubahan-perubahan itu. Salam Pergerakan !